Stress pada Wanita
(Stress pada Wanita Dewasa Muda
yang Memiliki Peran Ganda Sebagai Istri, Ibu, dan Mahasiswi)
Tidak
ada kehidupan yang bebas dari keadaan stress. Kehidupan tidak menyebabkan
stress jika lingkungan tidak menuntut individu dan individu tersebut tidak
mempunyai dorongan untuk memenuhinya. Stress merupakan bagian yang penting
dalam kehidupan karena setiap perubahan dalam kehidupan sehari-hari individu
dapat menyebabkan stress (Holmes, dlm Feldman, 1989).
Stress
terjadi jika terdapat tuntutan-tuntutan baik dari internal maupun eksternal
yang melebihi sumber daya seseorang untuk menyesuaikan diri. Nah contoh dari
tuntutan yang bersifat internal itu seperti ambisi, nilai yang sudah
terinternalisasi sejak kecil, dan cita-cita menjadi salah satu tuntutan yang
bersumber dari dalam diri. Sedangkan sumber tuntutan social atau ekstrnal itu
merupakan tekanan yang nyata yang berasal dari orang lain agar individu
bertingkah laku tertentu seperti norma, kode etik ataupun budaya.
Sumber
stress yang dialami oleh individu pun berbeda-beda tergantung pada situasi dan
kondisi yang sedang dihadapinya. Hal ini karena suatu situasi yang dianggap
keadaan menyebabkan stress tergantung pada bagaimana cara individu menerima dan
menginterpretasikan kejadian tersebut. Oleh karna itu, seseorang dapat
mengalami tingkat stress yang berbeda-beda walaupun stressor atau sumber
stressnya sama.
Sebenarnya
apa sih stress yang dialami oleh dewasa muda yang memiliki peran ganda itu?
Lalu bagaimana coping stress yang dilakukan oleh mereka agar mereka bisa lalui
masa stress nya itu?
Usia
dewasa muda kira-kira sekitar umur 18-22 tahun. Bagi kebanyakan orang awam,
terdapat tiga kriteria untuk mendefinisikan masa dewasa; (1) menerima tanggung
jawab akan diri sendiri, (2) membuat keputusan mandiri dan (3) mandiri secara
finansial (Arnett,2006). Pada rentan usia itu, mungkin banyak dari mereka yang
memilih menikah, berkarir, ataupun ada juga yang masih kuliah. Tapi tidak heran
pada umur segitu banyak dewasa muda yang sudah memiliki peran ganda sebagai
istri, ibu dan mahasiswa. Langkah yang mereka ambil sebenarnya tidak salah
namun, ketika mereka mengalami stress apakah mereka mampu mengatasi stress itu
dengan baik? Seperti yang kita tau, ketika kita punya seorang anak tugas kita
sebagai seorang ibu sangatlah tidak mudah. Kita harus mampu merawat dan
memantau perkembangan mereka. Disamping itu tugas kita sebagai mahasiswa juga
banyak, kita harus bisa menyelesaikan tugas-tugas dari dosen yang mungkin bisa
menyita waktu tidur kita. Permasalahn lain yang ditimbulkan oleh mahasiswa yang
sudah menikah adalah masalah pembagian waktu untuk berbagi tugas dan tanggung
jawabnya sebagai istri dan ibu, masalah keuangan, masalah pengembangan diri,
ide-ide romantic tentang pernikahan, masalah kelangsungan pendidikan, masalah
dengan perkuliahan. Ditambah lagi ketika kita harus menyelesaikan tugas akhir,
tidak sedikit waktu yang kita butuhkan. Selain itu kita juga menjadi seorang
istri untuk suami kita yang artinya kita harus tetap bisa melayani suami kita
dengan baik. Kita harus bisa bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk suami dan
anak kita. Memang kelihatannya mudah, tapi untuk beberapa wanita dewasa muda
yang mengalaminya mungkin kadang mereka juga merasa kerepotan dan timbulah
stress pada individu tersebut.
Lalu
ketika stress itu sudah terjadi pada kita, bagaimana copping atau cara yang
kita ambil untuk meredakan stress tersebut? Coping adalah usaha individu baik
yang melibatkan tingkah laku nyata dan kegiatan kognitif untuk menghadapi tuntutan-tuntutan
yang berasal dari luar ataupun diri sendiri yang dinilai melampaui sumber daya
individu. Usaha coping yang dilakukan dapat bervariasi antar individu dan tidak
selalu mengarah ke penyelesaian masalah.
Secara
umum jenis-jenis coping dapat dibagi menjadi 2, yaitu
1. Coping
terpusat emosi (emotion-focused coping)
Individu melakukan
usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan
usaha untuk mengubah stressor secara langsung.
2. Coping
terpusat masalah
Individu melakukan
tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi.
Meraka akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya menilai situasi
yang dihadapinya masih dapat dikontrol serta yakin akan dapat mengubah situasi.
Cara
individu mengatasi situasi stress atau dengan kata lain coping, tergantung pada
penilaian dia terhadap situasi yang sedang dia hadapi. Bila individu merasa
dirinya dapat mengendalikan stressor, maka ia cenderung akan melakukan coping
yang terpusat pada masalah, akan tetapi jika ia merasa stressor adalah sesuatu
yang tidak dapat dikendalikan maka ia akan memilih coping yang berpusat pada
emosi. Selain itu, sumber daya yang dimiliki oleh individu juga sangat
berpengaruh terhadap penggunaan coping, khususnya pda saat ia memerlukan
sumberdaya (resources) tersebut untuk mengatasi suatu masalah yang spesifik.
Sumber daya primer yang dimiliki oleh seorang individu meliputi kesehatan dan
energy, kepercayaan positif, dan kemampuan memecahkan masalah persoalan dan
kompetensi diri. Selain itu terdapat sumber daya yang berasal dari lingkungan sekitar, meliputi dukungan social dan
material.
Disekitar kita sudah banyak
kasus-kasus yang seperti itu. Seperti halnya salah satu teman saya yang dia
akhirnya memutuskan untuk menikah pada usia 21 tahun. Saya tidak heran ketika
dia memutuskan untuk menikah, mungkin karna memang itu sudah keputusan terbaik
yang dia ambil. Diawal kehidupan baru dengan suaminya dia merasa enjoy, nyaman
dan belum merasakan tekanan apapun. Namun menurutnya setelah beberapa bulan
menikah, dia merasa kerepotan ketika dia harus kuliah dan harus melayani
suaminya. Setelah kurang lebih setahun lebih ia menikah, mereka dikaruniai
seorang bayi mungil perempuan. Alangkah senangnya hidup mereka. Diapun awalnya
merasa senang ketika memiliki anak, tapi setelah beberapa bulan dia pun kadang
merasa stress untuk menghadapi masalah yang ada dikehidupannya. Dia tinggal
dirumah sendiri yang lumayan jauh dari orangtuanya dan dia harus bisa mengurus
suami dan anaknya sendiri. Menurutnya kadang dia merasa stress dengan situasi
itu, disaat dia harus kuliah, anak sakit, dan suaminya pun kerja. Namun
walaupun begitu dia dapat meredakan stress tersebut. Biasanya kalau dia sudah
merasa stress atau kerepotan ketika dia mau kuliah, dia datang kerumah
orangtuanya untuk meminta membantu mengurus anaknya. Ini dia laukan agar dia
merasa tidak terlalu merasa terbebani dengan situasi ini.
Dari
kasus di atas dapat disimpulkan bahwa ia menggunakan coping stress yang
terpusat pada masalah. Ia mencoba melakukan tindakan untuk mengubah situasi. Pada
coping stress yang terpusat ada bagian choosing
among them dan acting yaitu
individu memilih satu dari beberapa alternative yang ada serta individu
menjatuhkan pilihannya dan melakukan tindakan tersebut. Jadi mungkin sebelumnya
wanita itu sudah memiliki beberapa alternative yang mungkin bisa ia pilih agar
dapat meredakan stresnya. Tapi dari sekian banyak alternative yang ada mungkin
yang ia pilih yaitu menitipkan anaknya kepada orangtuanya, agar orangtuanya
dapat sedikit membantu mengurus anaknya.
Jadi
itulah salah satu fenomena yang mungkin banyak juga terjadi pada wanita lain. Intinya
coping stress dapat dipilih oleh individu sesuai dengan bagaimana ia dapat
melihat dan menginterpretasikan masalah itu seperti apa. Setiap wanita memiliki
coping stress yang berbeda-beda walaupun masalah yang dihadapinya sama.
Sumber
:
1. Sansa,
Enandera.2007.Skrpsi: Copping Stres pada Wanita Dewasa Muda yang Berperan
Sebagai Istri, Ibu, dan Mahasiswi.Depok:Fakultas Universitas Indonesia
2. Nevid,
Jeffrey S, Spencer A. Rathus,dkk.2003.Psikologi Abnormal Edisi
kelima.Jakarta:Erlangga
3. Papalia,
Diane E.2014.Experience Human Development 12 ed.Mc Graw Hill
Hubungan
Kesehatan Mental dengan Kecerdasan Emosi
Sebelum
saya menjelaskan tentang apasih hubungan kesehatan mental dengan kecerdasar
emosi? Memangnya ada hubungan antara kesehatan mental dan kecerdasan emosi? Pada
penasaran kan??? Tapi saya akan menjelaskan terlebih dahulu teori-teori yang
menyangkut kedua hal tersebut, agar kita dapat menyimpulkan apakah sebenarnya
memang ada hubungan antara kedua hal tersebut?
Di
tugas yang pernah saya post sebelumnya, saya sudah pernah menjelaskan tentang
arti dari kesehatan mental, kalian masih pada inget gak nih apa pengertiannya? Lupaaa?
Atau masih gak tau? Hehe. Yaudah-yaudah saya jelaskan ulang yah. World Health Organization (WHO, 2001), menyatakan
bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari
individu, yang didalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola
kehidupannya yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta
beperan serta di komunitasnya. WHO juga menyebutkan tentang sehat mental jiwa
yang mencakup salah satunya adalah sehat emosional yang tercermin dari
kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya atau pengendalian diri yang
baik.
Lalu
apa sih yang dimaksud dengan kecerdasan emosi itu? “Emosi” berasal dari bahasa
latin yaitu movere, yang berarti “menggerakkan, bergerak” (Goleman, 2006).
Menurut Goleman (2006) emosi adalah suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu
keadaan fisiologis dan biologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak.
Menurut Goleman (2006) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan
impuls emosional, kemampuan untuk membaca perasaan orang lain, dan kemampuan
untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain. Selain ada pengertiannya,
ada juga nih konsep dari kecerdasan emosional. Goleman (2006) menyatakan bahwa
konsep kecerdasan emosional meliputi lima wilayah utama, yaitu : (1) mengenali
emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali
emosi oranglain, dan (5) membina hubungan. Ada juga karakteristik dari
kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2006) karakteristik kecerdasan emosi itu
meliputi; (1) kesadaran diri, (2) pengaturan diri, (3) motivasi, (4) empati, dan
(5) keterampilan social.
Sebenarnya
apa saja sih factor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional? Goleman
(2006) menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan
emosi seseorang, yaitu faktor yang bersifat bawaan atau genetik (temperamen),
faktor yang berasal dari lingkungan keluarga (cara asuh orang tua), dan faktor
pendidikan emosi yang diperoleh siswa di sekolah. Menurut Goleman (2006)
kecerdasan emosi itu tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga ia
meninggal dunia.
Lalu
apa hubungan antara kesehatan mental dan kecerdasan emosi? Menurut saya,
kesehatan mental dan kecerdasan emosi memang ada hubungannya. Seseorang yang
memiliki jiwa yang sehat maka ia akan dapat mengendalikan emosinya dengan baik.
Seperti yang disebutkan oleh WHO tentang sehat jiwa yang mencakup sehat emosional
bahwa sehat emosional itu tercermin dari kemampuan seseorang untuk
mengekspresikan emosinya atau pengendalian diri yang baik. Agar seseorang
mempunyai kecerdasan emosi yang baik maka orang tersebut harus memahami
bagaimana konsep, karakteristik, dan factor yang menyebabkan kecerdasan emosi. Dengan
begitu mungkin mereka dapat mengendalikan emosi mereka dengan baik, serta
kesehatan mereka pun baik.
Sumber
:
2. Dewi, Kartika Sari. 2012. Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIP
Press Semarang.
3. Semiun,
Y. 2006). Kesehatan mental 1. Yogyakarta:Kanisius