Selasa, 28 April 2015

Stress Pada Wanita dan Hubungan Kesehatan Mental dengan Kecerdasan emosi

Stress pada Wanita
(Stress pada Wanita Dewasa Muda yang Memiliki Peran Ganda Sebagai Istri, Ibu, dan Mahasiswi)
Tidak ada kehidupan yang bebas dari keadaan stress. Kehidupan tidak menyebabkan stress jika lingkungan tidak menuntut individu dan individu tersebut tidak mempunyai dorongan untuk memenuhinya. Stress merupakan bagian yang penting dalam kehidupan karena setiap perubahan dalam kehidupan sehari-hari individu dapat menyebabkan stress (Holmes, dlm Feldman, 1989).
Stress terjadi jika terdapat tuntutan-tuntutan baik dari internal maupun eksternal yang melebihi sumber daya seseorang untuk menyesuaikan diri. Nah contoh dari tuntutan yang bersifat internal itu seperti ambisi, nilai yang sudah terinternalisasi sejak kecil, dan cita-cita menjadi salah satu tuntutan yang bersumber dari dalam diri. Sedangkan sumber tuntutan social atau ekstrnal itu merupakan tekanan yang nyata yang berasal dari orang lain agar individu bertingkah laku tertentu seperti norma, kode etik ataupun budaya.
Sumber stress yang dialami oleh individu pun berbeda-beda tergantung pada situasi dan kondisi yang sedang dihadapinya. Hal ini karena suatu situasi yang dianggap keadaan menyebabkan stress tergantung pada bagaimana cara individu menerima dan menginterpretasikan kejadian tersebut. Oleh karna itu, seseorang dapat mengalami tingkat stress yang berbeda-beda walaupun stressor atau sumber stressnya sama.


Sebenarnya apa sih stress yang dialami oleh dewasa muda yang memiliki peran ganda itu? Lalu bagaimana coping stress yang dilakukan oleh mereka agar mereka bisa lalui masa stress nya itu?
Usia dewasa muda kira-kira sekitar umur 18-22 tahun. Bagi kebanyakan orang awam, terdapat tiga kriteria untuk mendefinisikan masa dewasa; (1) menerima tanggung jawab akan diri sendiri, (2) membuat keputusan mandiri dan (3) mandiri secara finansial (Arnett,2006). Pada rentan usia itu, mungkin banyak dari mereka yang memilih menikah, berkarir, ataupun ada juga yang masih kuliah. Tapi tidak heran pada umur segitu banyak dewasa muda yang sudah memiliki peran ganda sebagai istri, ibu dan mahasiswa. Langkah yang mereka ambil sebenarnya tidak salah namun, ketika mereka mengalami stress apakah mereka mampu mengatasi stress itu dengan baik? Seperti yang kita tau, ketika kita punya seorang anak tugas kita sebagai seorang ibu sangatlah tidak mudah. Kita harus mampu merawat dan memantau perkembangan mereka. Disamping itu tugas kita sebagai mahasiswa juga banyak, kita harus bisa menyelesaikan tugas-tugas dari dosen yang mungkin bisa menyita waktu tidur kita. Permasalahn lain yang ditimbulkan oleh mahasiswa yang sudah menikah adalah masalah pembagian waktu untuk berbagi tugas dan tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu, masalah keuangan, masalah pengembangan diri, ide-ide romantic tentang pernikahan, masalah kelangsungan pendidikan, masalah dengan perkuliahan. Ditambah lagi ketika kita harus menyelesaikan tugas akhir, tidak sedikit waktu yang kita butuhkan. Selain itu kita juga menjadi seorang istri untuk suami kita yang artinya kita harus tetap bisa melayani suami kita dengan baik. Kita harus bisa bangun pagi dan menyiapkan sarapan untuk suami dan anak kita. Memang kelihatannya mudah, tapi untuk beberapa wanita dewasa muda yang mengalaminya mungkin kadang mereka juga merasa kerepotan dan timbulah stress pada individu tersebut.


Lalu ketika stress itu sudah terjadi pada kita, bagaimana copping atau cara yang kita ambil untuk meredakan stress tersebut? Coping adalah usaha individu baik yang melibatkan tingkah laku nyata dan kegiatan kognitif untuk menghadapi tuntutan-tuntutan yang berasal dari luar ataupun diri sendiri yang dinilai melampaui sumber daya individu. Usaha coping yang dilakukan dapat bervariasi antar individu dan tidak selalu mengarah ke penyelesaian masalah.
Secara umum jenis-jenis coping dapat dibagi menjadi 2, yaitu
1.      Coping terpusat emosi (emotion-focused coping)
Individu melakukan usaha-usaha yang bertujuan untuk memodifikasi fungsi emosi tanpa melakukan usaha untuk mengubah stressor secara langsung.
2.      Coping terpusat masalah
Individu melakukan tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Meraka akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya menilai situasi yang dihadapinya masih dapat dikontrol serta yakin akan dapat mengubah situasi.

Cara individu mengatasi situasi stress atau dengan kata lain coping, tergantung pada penilaian dia terhadap situasi yang sedang dia hadapi. Bila individu merasa dirinya dapat mengendalikan stressor, maka ia cenderung akan melakukan coping yang terpusat pada masalah, akan tetapi jika ia merasa stressor adalah sesuatu yang tidak dapat dikendalikan maka ia akan memilih coping yang berpusat pada emosi. Selain itu, sumber daya yang dimiliki oleh individu juga sangat berpengaruh terhadap penggunaan coping, khususnya pda saat ia memerlukan sumberdaya (resources) tersebut untuk mengatasi suatu masalah yang spesifik. Sumber daya primer yang dimiliki oleh seorang individu meliputi kesehatan dan energy, kepercayaan positif, dan kemampuan memecahkan masalah persoalan dan kompetensi diri. Selain itu terdapat sumber daya yang berasal dari  lingkungan sekitar, meliputi dukungan social dan material.
            Disekitar kita sudah banyak kasus-kasus yang seperti itu. Seperti halnya salah satu teman saya yang dia akhirnya memutuskan untuk menikah pada usia 21 tahun. Saya tidak heran ketika dia memutuskan untuk menikah, mungkin karna memang itu sudah keputusan terbaik yang dia ambil. Diawal kehidupan baru dengan suaminya dia merasa enjoy, nyaman dan belum merasakan tekanan apapun. Namun menurutnya setelah beberapa bulan menikah, dia merasa kerepotan ketika dia harus kuliah dan harus melayani suaminya. Setelah kurang lebih setahun lebih ia menikah, mereka dikaruniai seorang bayi mungil perempuan. Alangkah senangnya hidup mereka. Diapun awalnya merasa senang ketika memiliki anak, tapi setelah beberapa bulan dia pun kadang merasa stress untuk menghadapi masalah yang ada dikehidupannya. Dia tinggal dirumah sendiri yang lumayan jauh dari orangtuanya dan dia harus bisa mengurus suami dan anaknya sendiri. Menurutnya kadang dia merasa stress dengan situasi itu, disaat dia harus kuliah, anak sakit, dan suaminya pun kerja. Namun walaupun begitu dia dapat meredakan stress tersebut. Biasanya kalau dia sudah merasa stress atau kerepotan ketika dia mau kuliah, dia datang kerumah orangtuanya untuk meminta membantu mengurus anaknya. Ini dia laukan agar dia merasa tidak terlalu merasa terbebani dengan situasi ini.
Dari kasus di atas dapat disimpulkan bahwa ia menggunakan coping stress yang terpusat pada masalah. Ia mencoba melakukan tindakan untuk mengubah situasi. Pada coping stress yang terpusat ada bagian choosing among them dan acting yaitu individu memilih satu dari beberapa alternative yang ada serta individu menjatuhkan pilihannya dan melakukan tindakan tersebut. Jadi mungkin sebelumnya wanita itu sudah memiliki beberapa alternative yang mungkin bisa ia pilih agar dapat meredakan stresnya. Tapi dari sekian banyak alternative yang ada mungkin yang ia pilih yaitu menitipkan anaknya kepada orangtuanya, agar orangtuanya dapat sedikit membantu mengurus anaknya.
Jadi itulah salah satu fenomena yang mungkin banyak juga terjadi pada wanita lain. Intinya coping stress dapat dipilih oleh individu sesuai dengan bagaimana ia dapat melihat dan menginterpretasikan masalah itu seperti apa. Setiap wanita memiliki coping stress yang berbeda-beda walaupun masalah yang dihadapinya sama.



Sumber :
  1.      Sansa, Enandera.2007.Skrpsi: Copping Stres pada Wanita Dewasa Muda yang Berperan Sebagai Istri, Ibu, dan Mahasiswi.Depok:Fakultas Universitas Indonesia
   2.      Nevid, Jeffrey S, Spencer A. Rathus,dkk.2003.Psikologi Abnormal Edisi kelima.Jakarta:Erlangga
   3.      Papalia, Diane E.2014.Experience Human Development 12 ed.Mc Graw Hill



Hubungan Kesehatan Mental dengan Kecerdasan Emosi
Sebelum saya menjelaskan tentang apasih hubungan kesehatan mental dengan kecerdasar emosi? Memangnya ada hubungan antara kesehatan mental dan kecerdasan emosi? Pada penasaran kan??? Tapi saya akan menjelaskan terlebih dahulu teori-teori yang menyangkut kedua hal tersebut, agar kita dapat menyimpulkan apakah sebenarnya memang ada hubungan antara kedua hal tersebut?
Di tugas yang pernah saya post sebelumnya, saya sudah pernah menjelaskan tentang arti dari kesehatan mental, kalian masih pada inget gak nih apa pengertiannya? Lupaaa? Atau masih gak tau? Hehe. Yaudah-yaudah saya jelaskan ulang yah. World Health Organization (WHO, 2001), menyatakan bahwa kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang didalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola kehidupannya yang wajar, untuk bekerja secara produktif dan menghasilkan, serta beperan serta di komunitasnya. WHO juga menyebutkan tentang sehat mental jiwa yang mencakup salah satunya adalah sehat emosional yang tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya atau pengendalian diri yang baik.


Lalu apa sih yang dimaksud dengan kecerdasan emosi itu? “Emosi” berasal dari bahasa latin yaitu movere, yang berarti “menggerakkan, bergerak” (Goleman, 2006). Menurut Goleman (2006) emosi adalah suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan fisiologis dan biologis, dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Menurut Goleman (2006) kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk mengendalikan impuls emosional, kemampuan untuk membaca perasaan orang lain, dan kemampuan untuk membina hubungan yang baik dengan orang lain. Selain ada pengertiannya, ada juga nih konsep dari kecerdasan emosional. Goleman (2006) menyatakan bahwa konsep kecerdasan emosional meliputi lima wilayah utama, yaitu : (1) mengenali emosi diri, (2) mengelola emosi, (3) memotivasi diri sendiri, (4) mengenali emosi oranglain, dan (5) membina hubungan. Ada juga karakteristik dari kecerdasan emosi. Menurut Goleman (2006) karakteristik kecerdasan emosi itu meliputi; (1) kesadaran diri, (2) pengaturan diri, (3) motivasi, (4) empati, dan (5) keterampilan social.
Sebenarnya apa saja sih factor-faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional? Goleman (2006) menambahkan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang, yaitu faktor yang bersifat bawaan atau genetik (temperamen), faktor yang berasal dari lingkungan keluarga (cara asuh orang tua), dan faktor pendidikan emosi yang diperoleh siswa di sekolah. Menurut Goleman (2006) kecerdasan emosi itu tumbuh seiring pertumbuhan seseorang sejak lahir hingga ia meninggal dunia.


Lalu apa hubungan antara kesehatan mental dan kecerdasan emosi? Menurut saya, kesehatan mental dan kecerdasan emosi memang ada hubungannya. Seseorang yang memiliki jiwa yang sehat maka ia akan dapat mengendalikan emosinya dengan baik. Seperti yang disebutkan oleh WHO tentang sehat jiwa yang mencakup sehat emosional bahwa sehat emosional itu tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya atau pengendalian diri yang baik. Agar seseorang mempunyai kecerdasan emosi yang baik maka orang tersebut harus memahami bagaimana konsep, karakteristik, dan factor yang menyebabkan kecerdasan emosi. Dengan begitu mungkin mereka dapat mengendalikan emosi mereka dengan baik, serta kesehatan mereka pun baik.


Sumber :
    2.      Dewi, Kartika Sari. 2012. Kesehatan Mental. Semarang: UPT UNDIP Press Semarang.
    3.   Semiun, Y. 2006). Kesehatan mental 1. Yogyakarta:Kanisius